SISTEMATIKA
KELAHIRAN SENI BENJANG
Menurut Denny Hamdan SB., proses pembentukan
seni Benjang awal ini terjadi antara tahun 1906-1923. Bentuk Benjang awal ini
disebut Benjang Gelut (gelut=berkelahi) atau Benjang Gulat. Bentuk
ini kemungkinan besar sangat terpengaruh oleh weersteleun/weersteling, yaitu
olah raga Gulat pada masa Hindia Belanda. Ini dikarenakan pada masa memasuki
pertengahan tahun 1920-an, umumnya di wilayah Bandung para pelaku seni bela
diri tengah meng “gandrungi” olahraga weersteling. Sehingga banyak di antara
mereka yang menekuni olah raga ini.
Pada akhir 1920-an muncul pula
duakelompok penabuh waditra Benjang. Kelompok pertama,
pimpinan Al Wasim (Bah Wasim) dari kampung Terekdenglok Ciwaru, yang merupakan
anak didik dari Santari dan Mad Sari. Kedua, kelompok pimpinan Asnarif (Bah
Arif) dari kampung Cigupakan yang merupakan anak didik Sartiyem.
Dengan semakin dikenal luasnya seni
ini, maka bermunculan jago-jago Benjang dari luar daerah, seperti dari Banten,
Garut, Cianjur, Karawang, sumedang, Cirebon, dsb. Menjelang akhir 1920, Mas
Soerjawikanta membentuk sebuah paguyuban seni Benjang pertama. Perkumpulan
tersebut diberi nama “Soerja Kontjara”, yang berarti “cahaya ang terkenal”.
Hingga ahir 1930, kelompok Al Wasim dan As nari, dengan sungguh-sungguh
mengembangkan pola tabuh Benjang. Dari mereka munculah pola-pola tabuh seperti
dilajur, goyang, tetabah, dsb.
Pada waktu itu, sepanjang siang hari,
kelompok ini terlebih dahulu sering memainkan waditra Benjang untuk memberi
tanda bahwa pada malam harinya akan digelar pertandingan Benjang Gelut.
Menjelang pertengahan tahun 1930, kelompok Bah Wasim menghadirkan
properti kesweh dan sepasang kuda lumping yang kemudian
diikuti pula oleh Bah Arif. Pada tahun 1928 seni Benjang bentuk baru ini mulai
dimainkan untuk mengarak anak sunat.
Para nayaga (pemain
waditra) kelompok Al Wasim saat itu adalah : Eme pada terompet, Intasim (putera
Bah Wsim) dan Salhasik (putera angkat Bah Wasim), pada kendang. Sedangkan
pemain lumping, bangbarongan, babadudan dimainkan bergantian oleh para remaja
saat itu.
Pada periode ini, menjelang awal tahun
1930, para pelaku Benjang Gulat dikejutkan dengan munculnya teknik “belit”.
Teknik belit bertumpu pada kekuatan otot kaki yang dibelitkan pada bagian kaki
lawan.
C. Masa
penyempurnaan (1931-1942)
Teknik belit
kemudian dikembangan oleh anak-anak didik Marzuki, di antaranya Sarka (Ciwaru)
dan Mad Rais (Cibiru). Dari kedua tempat itulah bermunculan para pe-benjang
tangguh yang merajai setiap arena pertandingan benjang hingga saat ini.
Memasuki
pertengahan tahun 1930-an, pengembangan seni benjang di wilayah kecamatan Ujung
Berung dan sekitarnya , hampir seluruhnya dipegang oleh kelompok Ciwaru dan
Cigupakan.
Pada masa itu,
atas prakarsa Al Wasim, para seniman kelompok kelompok Ciwaru-Pasir Angin dan
sekitarnya, membentuk suatu paguyuban yang diberi nama “Panca Warna” yang
artinya keanekaragaman jenis kesenian, karena memang paguyuban tersebut
mewadahi berbagai jenis kesenian yang tumbuh di daerah tersebut. Namun akhirnya
nama itu menjadi identik dengan nama grup benjang pimpinan Bah Wasim sendiri.
Pada saat yang
sama, di Cigupakan pun atas prakarsa Asnarif,para seniman Cigupakan-Cigagak
membentuk paguyuban seniman “Aneka Warna”, yang mempunyai tujuan yang sama
dengan paguyuban Panca Warna. Sehinggga akhirnya nama aneka Warna menjadi
identik dengan nama grup benjang pimpinan Asnarif.
Al Wasim dari
kelompok Ciwaru mengembangkan seni ini lebih jauh dengan dibantu para anak
didiknya seperti Salhasik dan Ama Karma. Pada tahun 1934 keluarga Ukria
menggabungkan diri dengan peguyuban Panca Warna. Ukria adalah seorang tokoh
silat yang sangat tertarik dengan perkembangan seni benjang. Pada
paguyuban Panca Warna, selain mempelajari seni benjang, Ukria lebih
mengkhususkan dalam pengembangan seni pencak silat.
Pada tahun 1934
beberapa seniman benjang gulat ikut dalam kompetisis weersteleun atauweerstling yang
ditampilkan pada perayaan “Festifal Jaarbeurs”. Pada kegiatan ini para
pe-benjang selain berpartisipasi sebagai peserta, mereka juga memperkenalkan
seni benjang kepada masyarakat Bandung. Sehingga secara langsung maupun tak
langsung para pe- weerstling pada akhirnya ikut terlibat dalam
pengembangan seni benjang gulat.
Memasuki tahun
1938, benjang wawaran pertama kali digunakan untuk mengarak anak khitan. Bentuk
seni benjang itu dinamakan benjang helaran (benjang arak-arakan). Pada bentuk
benjang helaran awal ini, property yang digunakan masih sangat sederhana, yaitu
terdiri dari dua buah lumping, dua orang yang memerankan kesweh (aki-nini),
serta tokoh-tokoh ponakawan. Bentuk ini kemudian dikembangkan oleh kelompok Al
Wasim dengan menambahkan property adu-dodombaan, yang dimainkan selama
arak-arakan berlangsung.
Setahun
kemudian kelompok Al Wasiim dan Asnarif mulai mengembangkan bentuk seni benjang
pertunjukan, yakni topeng benjang. Taip dan Iming merupakann penari topeng
benjang generasi ertama dari kelompok Ciwaru, sedangkan Sumli dan Taryo penari
topeng generasi pertama dari Cigupakan. Para penari itu mengubah bentuk bentuk
bentuk seni tari topeng klasik sunda yang berpola menjadi seni tari topeng benjang
yang tidak berpola (grubug/abrag).
Menjelang tahun
1940, senii benjang pun mulai dipergelarkan secara utuh. Pada tahun ini pun
seni benjang gulat mulai menyebar rata ke seluruh wilayah Ujung berung, hingga
bebrmunculan jawara-jawara Benjang baru. Selain itu pada tahun ini
pun terjadi penambahan dan perubahan property benjang helaran,
penambahan berupa sebuah bangbarongan dan berubahnya bentuk lumping menjadi
bentuk kepang. Lulumpingan adalah bentuk kuda lumping yang terbuat dari rotan, sedang
kekepangan terbuat dari anyaman bamjbu. Terjadinya penambahan dan perubahan
tersebut karena pengaruh para pengamen dari Cibaligo yang sering memainkan
property tersebut saat ngamen berkeliling kempung sekitar wilayah Ujung Berung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar